Apakah pengelolaan wakaf di Indonesia sudah baik?

Wakaf telah dikenal memiliki manfaat yang luas untuk sosial-ekonomi masyarakat. Pembangunan infrastruktur, sekolah sebagai salah satu contohnya, menjadi salah satu hasil pemberdayaan wakaf untuk masyarakat tanpa keharusan untuk bergantung pada pemerintah.  Praktik wakaf juga telah dilakukan di berbagai negara muslim. Namun, dampak yang dihasilkan dari pengelolaan wakaf dirasa masih terbatas dirasakan oleh masyarakat. Hal tersebut rupanya, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disebabkan rendahnya kualitas pengelolaan wakaf.

Setiap negara tentu memiliki sistem pengelolaan yang berbeda atas wakaf. Indonesia, contohnya, memiliki sistem pengelolaan wakaf yang dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta, sedangkan Malaysia hanya dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterbatasan pengelolaan wakaf di Indonesia dan Malaysia, mengeksplorasi persepsi muslim diantara dua negara tersebut, serta memberikan solusi dalam mengembangkan wakaf di Malaysia dan Indonesia.

Praktik wakaf di Indonesia telah berlangsung lama yang mana dapat dibagi menjadi lima fase yaitu sebelum tahun 1905, tahun 1905-1953, orde lama, orde baru, dan era reformasi. Perkembangan wakaf di Indonesia dimulai dari praktiknya yang masih berdasarkan pada budaya Islam, hingga kemudian pada era reformasi mulai terdapat aturan wakaf yang terstruktur, seperti pada tahun 2004, diterbitkan UU no. 41 tentang Wakaf. Sedangkan praktik wakaf di Malaysia nyatanya telah diatur sejak tahun 1911 dengan dikeluarkannya Enakmen Larangan Wakaf 1911 di Johor yang kemudian pada tahun 1953, Majelis Agama Islam Negeri dibentuk pertama kali di Selangor sebagai lembaga pemerintahan yang mengatur wakaf properti.

Meski perkembangan praktik wakaf hingga kini telah pesat, ketiadaan peraturan wakaf pada masa lampau telah berakibat pada kurangnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan wakaf, khususnya wakaf properti. Sebelumnya, praktik wakaf dilakukan perorangan hanya melalui lisan dengan serta diserahkannya property kepada pihak terpercaya yang ditunjuk oleh wakif (pihak yang memberikan wakaf) untuk mengelola aset wakaf yang diberikan. Ketiadaan aturan pada masa lampau juga menyebabkan ketidakjelasan pencatatan pemindahan nama atas aset wakaf yang diberikan. Dalam beberapa kasus, aset wakaf diatasnamakan kepada pengelola atau tetap atas nama wakif. Masalah ini kemudian diatasi dengan penerbitan Enakmen Pentadbiran Hukum Syarak Negeri-Negeri di Malaysia yang diterbitkan oleh Majelis Agama Islam Negeri. Namun, masalah ini tidak dapat langsung teratasi dengan dua tantangan utama yang dihadapi Majelis Agama Islam Negeri yaitu, kesulitas dalam identifikasi jumlah, ukuran, dan lokasi aset wakaf serta tantangan dalam menegaskan peran sebagai nazhir satu-satunya di Malaysia.

Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan strategi studi kasus. Metode yang dilakukan adalah field research melalui wawancara langsung kepada narasumber terkait, serta library research yang dilakukan melalui analisis penelitian serta laporan terdahulu. Adapun Teknik analisis yang dilakukan adalah teknik analisis interpretasi.

Melalui penelitian yang dilakukan, sesuai dengan tujuan penelitian, terdapat tiga hal utama yang menjadi hasil dari penelitian yaitu:

Isu Pengelolaan dalam Institusi Wakaf di Indonesia dan Malaysia

Dalam pengelolaan wakaf dalam institusi wakaf terdapat tiga isu utama yang diketahui berdasarkan penelitian yang dilakukan. Pertama, kurangnya tenaga ahli dalam pengelolaan wakaf. Di Malaysia diketahui, bahwa pengelolaan wakaf banyak dilakukan oleh pekerja yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Sedangkan pengelolaan wakaf di Indonesia didukung oleh penasihat dari kalangan akademisi yang umumnya memiliki pendekatan teoritis dibandingkan dengan pendekatan secara praktik yang dibutuhkan oleh lembaga pengelola wakaf.

Hal inilah yang kemudian menjadi isu dimana lembaga pengelola wakaf membutuhkan tenaga ahli yang telah memiliki pengalaman serta keahlian dalam mengembangkan suatu aset yang khususnya berlatarbelakang keuangan, bisnis, ataupun manajemen. Untuk meningkatkan pengelolaan wakaf, beberapa lembaga wakaf di Indonesia berusaha dengan merekrut mahasiswa dan lulusan yang kemudian dilatih untuk dapat mengembangkan pengelolaan wakaf.

Isu kedua adalah keterbatasan dalam menyusun laporan keuangan atas pengelolaan wakaf. Hal yang menjadi salah satu alasan dalam isu ini adalah ketiadaan standar laporan keuangan atas pengelolaan wakaf. Dengan ketiadaan standar tersebut, maka Lembaga wakaf merasa kesulitan dalam menyusun laporan keuangan secara berkualitas sesuai dengan yang dibutuhkan. Sedangkan isu ketiga adalah keterbatasan modal dalam pengembangan lahan wakaf.

Persepsi Muslim terhadap Pengelolaan Wakaf di Indonesia dan Malaysia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat tiga pandangan terhadap muslim dalam pengelolaan wakaf di Indonesia Malaysia. Pertama adalah tingkat literasi yang rendah. Kemudian, masih berhubungan dengan poin pertama, penelitian ini juga menemukan bahwa komunitas muslim secara umum masih memiliki tingkat kesadaran dan edukasi yang rendah. Hal ini dapat ditemukan di Indonesia dan Malaysia.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan narasumber, muslim secara umum masih memiliki tingkat pemahaman yang rendah terhadap konsep wakaf, terutama terkait dengan wakaf uang seperti yang terjadi di Indonesia. Namun, untuk mengatasi hal ini, beberapa Lembaga wakaf di kedua negara juga berusaha untuk meningkatkan literasi masyarakat melalui edukasi yang dilakukan dengan berbagai program wakaf.        

Poin ketiga yang didapatkan adalah fenomena yang terjadi di Malaysia dimana generasi muda memiliki keterbatasan untuk melakukan donasi aset tetap wakaf seperti tanah disebabkan tingginya biaya hidup, terutama bagi mereka yang tinggal di kota. Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh keterbatasan aset yang tersedia di Malaysia.

Solusi atas Pengembangan Lahan Wakaf

Untuk mengatasi tantangan pengembangan lahan wakaf di Indonesia dan Malaysia, terdapat dua solusi utama yang ditemukan melalui penelitian ini. Pertama adalah mengutamakan program wakaf uang ataupun surat berharga lainnya dibandingkan dengan aset tetap wakaf yang saat ini sudah cenderung terbatas dan mahal. Praktik wakaf uang juga telah dilakukan dan terbukti memiliki hasil yang cukup signifikan. Seperti yang terjadi di Malaysia, untuk mempromosikan wakaf uang, terdapat skema pengurangan gaji dan wakaf perusahaan.

Solusi kedua adalah fleksibilitas pengelolaan wakaf yang cenderung terbatasi oleh aturan yang berlaku. Untuk meningkatkan pengelolaan wakaf, maka Lembaga wakaf di Indonesia telah melakukan uji kelayakan atas lahan yang akan diwakafkan.

Penulis: Prof. Dr. Raditya Sukmana, S.E., M.A.

Link Jurnal: https://jurcon.ums.edu.my/ojums/index.php/LJMS/article/view/3479

Tulisan ini bersumber dari Sukmana, Raditya, Anwar Allah Pitchay, and Mohammad Isa Abd Jalil. 2021. “COMPARISON OF GOVERNMENT AND PRIVATE BASED WAQF INSTITUTIONS MANAGEMENT : CASE STUDY OF INDONESIA AND MALAYSIA.” Labuan E-Journal of Muamalat and Society.


Jakarta, Kominfo – Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, pada 2018 Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyebutkan bahwa potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar yakni mencapai Rp 180 triliun per tahun. Namun demikian, besarnya potensi wakaf uang tersebut belum dapat dioptimalkan sepenuhnya. Untuk itu, diperlukan transformasi wakaf menuju wakaf produktif melalui mobilisasi dan pemanfaatan wakaf uang.

“Wakaf uang memiliki kelebihan dibandingkan wakaf dalam bentuk lain karena wakaf uang berhubungan langsung dengan kegiatan bisnis dan investasi. Apabila wakaf dalam bentuk aset lain masih memiliki kemungkinan hanya dimanfaatkan untuk kegiatan sosial, kebajikan, dan peribadatan, wakaf uang pemanfaatannya harus melalui kegiatan pengembangan ekonomi produktif,” ungkap Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin yang dituangkan dalam sebuah artikel berjudul “Transformasi Wakaf Indonesia Menuju Wakaf Produktif” yang dirilis Jum’at (22/01/2021).

Selain karena besarnya populasi muslim, menurut Wapres, besarnya potensi wakaf uang di Indonesia juga didukung tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia yang cukup tinggi.

“Dalam laporan World Giving Index 2019, Indonesia ditetapkan sebagai salah satu negara paling dermawan di dunia. Artinya, potensi kedermawanan masyarakat Indonesia untuk berwakaf uang dapat dikatakan tinggi. Namun, potensi tersebut belum dapat dioptimalkan sehingga manfaatnya belum signifikan dirasakan masyarakat,” ujarnya.

Lebih jauh, Wapres menjelaskan bahwa dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Wakaf Uang disebutkan bahwa wakaf uang (cash wakaf/wakaf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, dan hukumnya adalah boleh.

“Pengertian uang juga, termasuk surat-surat berharga. Dalam wakaf itu disebutkan, wakaf uang hukumnya jawaz (boleh) dan hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. Selain itu juga disebutkan nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan,” jelasnya.

Sejalan dengan fatwa MUI tersebut, sambung Wapres, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 juga menjelaskan tentang wakaf benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk menteri.

“Wakaf benda bergerak itu dilaksanakan wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis. Wakaf benda bergerak berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Selanjutnya, lembaga keuangan syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya sertifikat wakaf uang,” jelasnya lebih lanjut.

Adapun wakaf uang yang dikumpulkan wakif, kata Wapres, akan dimanfaatkan melalui instrumen investasi. Investasi yang dipilih bisa investasi pada sektor rill atau sektor keuangan yang menghasilkan profit atau imbal hasil.

“Hasil investasi uang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Menurut UU wakaf, apabila uang wakaf diinvestasikan, hasil investasinya 10 persen untuk nadzir dan 90 persen untuk disalurkan kepada mauquf ‘alaih (kegiatan sosial atau peribadatan),” ujarnya.

Namun sekali lagi, Wapres menegaskan bahwa model pengelolaan wakaf uang sebagaimana direkomendasikan UU Wakaf dan berbagai bentuk eksperimen implementasi wakaf uang, saat ini dirasakan masih belum optimal.

“Masyarakat belum tergerak untuk berbondong-bondong berwakaf uang, sementara nadzir juga belum mengelola dan memanfaatkan wakaf secara maksimal. Hasilnya masih belum dirasakan secara nyata di masyarakat,” sesalnya.

Untuk itu, kata Wapres, perlu ada sudut pandang dan langkah-langkah baru untuk meningkatkan optimalisasi wakaf uang di Indonesia. Menurutnya, Komite Nasional Ekonomi dan dan Keuangan Syariah (KNEKS) sebagai lembaga negara untuk koordinasi dan sinergi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, juga menyadari perlunya upaya perbaikan pengelolaan wakaf uang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan wakaf di Indonesia.

“KNEKS menginisiasi program kerja transformasi pengelolaan wakaf nasional sebagai program bersama kementerian/lembaga terkait untuk menjawab tantangan pengembangan wakaf uang di Indonesia,” pungkasnya.

Menlu Retno sampaikan tiga fokus kerja sama internasional yang perlu menjadi perhatian pelaku ekonomi digital di G20. Selengkapnya

UKM berkontribusi terhadap 61,97 terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia serta menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja pada 2021. Selengkapnya

Langkah pemerintah ini membawa dampak yang baik bagi Indonesia. Kebijakan APBN yang fleksibel, adaptif dan responsif namun tetap prudent dan Selengkapnya

Pemerintah dan Bank Indonesia menyepakati lima langkah strategis untuk memperkuat pengendalian inflasi. Selengkapnya