Terminologi sifat melawan hukum dapat ditemukan sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tegasnya pasal tersebut menyatakan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar Rupiah) Kata melawan hukum dalam pasal tersebut kemudian dalam penjelasanya, mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Sebenarnya istilah melawan hukum materil dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tidak dapat dipergunakan lagi Pasca Putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan bahwa “penjelasan Pasal 2 ayat 1 tersebut dinyatakan telah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.” Meskipun demikian, pasca putusan MK tersebut, praktiknya MA tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materil (materele wederrechtelijkheid). Bisa diamati misalnya dalam Putusan MA RI No. 2064 K/ Pid/ 2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi. (Lilik Mulyadi: 2011)
Di sinilah kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dengan hadirnya MK, karena putusan MK tidak dikenal lagi upaya hukum untuk menganulir putusannya. Satu-satunya cara adalah dengan merivisi UU tersebut melalaui pembahasan kembali di legislatif.
|