HometafsirAYAT-AYAT TENTANG PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
a. Qur’an Surat Al Anfal ayat : 53 ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّراً نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٣﴾ 053. Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, b. Qur’an Surat Muhammad ayat : 38 هَاأَنتُمْ هَؤُلَاء تُدْعَوْنَ لِتُنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنكُم مَّن يَبْخَلُ وَمَن يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَن نَّفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنتُمُ الْفُقَرَاء وَإِن تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ ﴿٣٨﴾ 038. Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini). Tags
Mengetahui beda tafsir sosiologis dan teologis membantu mewujudkan kerukunan. Rabu , 07 Aug 2019, 20:36 WIB Mgrol100 Ilustrasi Alquran Red: Nashih Nashrullah REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR— Membedakan ayat Alquran dalam kategori teologis dan sosiologis secara tepat merupakan salah satu upaya untuk menekan perselisihan umat beragama. Baca Juga Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Kementerian Agama Muhammad Zain. Zain saat berada di Ciawi, Bogor, Rabu (7/8) mengatakan surah al-Baqarah ayat 120, misalnya. Menurut dia, sebaiknya tidak dimaknai secara teologis, tetapi secara sosiologis. Teologis adalah hal-hal yang sifatnya mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasar pada kitab suci. Sementara sosiologis itu sifatnya tentang hubungan sesama manusia, proses sosial dan perubahannya. "Sangat berbahaya jika tidak dipahami dengan konteks masyarakat Indonesia yang plural," kata dia merujuk terjemahan al-Baqarah 120 yang berbunyi "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti jalan mereka." Jika dipahami secara teologis, kata dia, umat Islam akan didorong untuk tidak bekerja sama sama sekali dengan kalangan selain Muslim. Jika dimaknai seperti itu maka hubungan antarumat beragama tidak akan terwujud di negara plural. Dia mengatakan al-Baqarah ayat 120 itu merupakan ayat sosiologis dengan konteks turunnya ayat itu di Madinah guna menjelaskan bahwa pusat ekonomi dan kekuasaan zaman Rasulullah SAW dikuasai kalangan Yahudi dan Nasrani. Selanjutnya, kata dia, Islam sebagai agama baru masuk ke Madinah dan dalam waktu singkat kalangan Muslim mendominasi banyak sektor dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi. "Maka pantas Yahudi dan Nasrani cemburu kepada Islam sehingga turun al-Baqarah Ayat 120. Itu ayat sosiologis, bukan ayat teologis. Kalau ini ayat teologis kita bisa perang terus dengan Yahudi dan Nasrani," kata dia.
Kerukunan antar Umat Beragama. (ilustrasi) Sementara itu, Zain mengatakan dalam beberapa hal terdapat ayat Alquran yang sifatnya teologis dan fundamental, seperti untuk persoalan akidah seperti dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang tertulis bagimu agamamu, bagiku agamaku. Adapun makna dari ayat itu, kata dia, adalah umat Islam memiliki batasan-batasan dalam beribadah dengan tidak menjalankan ibadah agama lain karena sudah memiliki ajaran yang sudah digariskan syariah. Tidak boleh ada tawar menawar dalam persoalan akidah. "Artinya umat Islam harus tegas dalam hal akidah terhadap orang kafir. Maka tidak boleh umat Islam tawar menawar dalam hal akidah. 'Lakum diinukum wa liyadiin' ini jangan dipakai menjadi sosiologis," katanya.
sumber : Antara Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...
Ada ayat-ayat sosiologis dan teologis di dalam Alquran, menurut Kepala LKKMO Kemenag Rabu , 07 Aug 2019, 10:34 WIB Republika TV Membaca Alquran (Ilustrasi) Rep: Fuji Eka Permana Red: Hasanul Rizqa REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Muhammad Zain menyampaikan pentingnya pengetahuan tentang ayat sosiologis dan teologis. Pengetahuan akan hal itu dapat meningkatkan literasi keagamaan. Zain berpandangan masih banyak masyarakat yang belum bisa membedakan ayat Alquran yang masuk dalam kategori teologis dan sosiologis. Sebagai contoh, kata dia, ada ayat yang sering kali dikutip dalam ceramah keagamaan. Misalnya, surah al-Baqarah ayat 120. Artinya, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).' Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." Baca Juga "Terjemahan seperti itu sangat berbahaya jika tidak dipahami masyarakat Indonesia yang plural," kata Zain kepada Republika.co.id usai membuka Seminar dan Diseminasi Hasil Penelitian Tahun 2019 yang diselenggarakan Puslitbang LKKMO Kemenag di Bogor, Selasa (6/8). Ia menjelaskan, ayat 120 dalam surah tersebut termasuk dalam kategori ayat sosiologis, bukan teologis. Sebab, ayat tersebut turun di Madinah untuk menyampaikan fakta bahwa sentra ekonomi dan pusat kekuasaan dahulu dikuasai oleh Yahudi dan Nasrani. Kemudian, Islam masuk ke Madinah sebagai agama baru. Tiba-tiba, umat Islam menguasai ekonomi dan Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin tertinggi. "Maka pantas Yahudi dan Nasrani cemburu kepada Islam, jadi ini (surah Al Baqarah ayat 120) ayat sosiologis, bukan ayat teologis. Kalau ini ayat teologis, kita perang terus nih," ujarnya.Zain mengatakan, sebaliknya ada ayat teologis tapi malah dipahami secara sosiologis. Seperti surah Al Fath ayat 29. Potongan ayat tersebut artinya, Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Nabi adalah keras terhadap orang-orang kafir.Ia menjelaskan, ayat 29 dalam surah Al Fath termasuk kategori ayat teologis. Artinya umat Islam harus tegas dalam hal akidah terhadap orang kafir. Maka tidak boleh umat Islam tawar menawar dalam hal akidah. "Lakum dii nukum wa liya diin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) ini jangan dipakai menjadi (ayat) sosiologis," jelasnya.Menurut Zain, jika masih banyak masyarakat yang belum bisa membedakan antara ayat sosiologis dan teologis. Maka belum banyak masyarakat yang bisa mengkaji ayat-ayat dalam kitab suci sampai dalam.Oleh sebab itu, dia menginginkan hasil-hasil penelitian para peneliti harus bisa dibaca dan dipahami oleh masyarakat luas untuk membantu meningkatkan literasi mereka. Seperti yang disampaikan Albert Einstein, orang cerdas bisa menerangkan persoalan yang susah ke anak berusia enam tahun. "Saya ingin peneliti memudahkan (masyarakat) dan generasi milenial untuk memahami hasil penelitian, bukan membuat rumit masalah yang mudah," ujar Zain.
Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ... Tokoh sosiologi Islam pertama yang dibahas di sini yaitu Ibnu Khaldun. Salah satu teori sosiologi Islam yang dirumuskan dari pemikiran Ibnu Khaldun, adalah teori thaba’il ‘umron. Teori ini berpendapat bahwa peradaban mengalami perputaran sejarah. Pada setiap peradaban, terdapat transisi dan tahapan masyarakat, yang berpengaruh pada bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban. Hal ini dibahas Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, yang merupakan bagian dari kitab yang disebutkan di atas. Dalam pasal ke-14 bab 3 kitab pertama, ada dua ayat Al-Qur’an yang dikutip Ibnu Khaldun untuk menjelaskan teorinya itu, yakni QS. Al-Ahqaf (46): ayat 15 dan QS. Al-A’raf ayat 34. Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ Artinya: Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun,…” (Al-Aḥqāf [46]:15). Titik tekan ayat ini yang dipakai Ibnu Khaldun dalam mengemukakan gagasanya adalah lafadz hatta idza balagha asyuddahu wa balagha arba’ina sanah (Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun). Empat puluh tahun sebagai usia matang manusia dalam ayat tersebut, dipakai standart Ibnu Khaldun untuk merumuskan usia satu generasi. Dalam menjelaskan ayat ini, Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menulis, pada usia empat puluh terjadi kematangan bagi manusia, baik secara syariat maupun kesehatan. Sebab usia tersebut merupakan puncak kekuatan fisik manusia, dan permulaan dari stabilitas kekuatan kejiwaan manusia. Itulah mengapa, kebanyakan Rasul diangkat pada usia empat puluh tahun. Termasuk Sayid al-Mursalin, Nabi Muhammad –shalla Allahu ‘alaihi wa sallam-. Dalam menjelaskan suatu kerajaan yang memiliki usia alami layaknya manusia, Ibnu Khaldun kemudian menulis, “Adapun usia pemerintahan suatu kerajaan, meskipun berbeda-beda berdasarkan situasi dan kondisi yang melingkupinya, namun biasanya pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut tidak lebih dari usia tiga generasi yang merupakan usia satu orang dengan ukuran normal”. Usia dewasa normal berdasar ayat ini adalah empat puluh tahun, jadi usia pemerintahan suatu kerajan diperkirakan berusia 120 tahun (Muqaddimah, Ibnu Khaldun). Baca juga: Tafsir Surah Al-Humazah dan Khasiatnya (Bagian 4) Penggunaan terma usia matang manusia untuk menjelaskan usia suatu generasi masyarakat seperti yang dilakukan Ibnu Khaldun memang menarik. Tokoh sosiologi lain yang menjelaskan masyarakat dengan meminjam istilah dari organisme adalah Herbert Spencer (1820-1903), meskipun keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Spencer menyatakan masyarakat harus dilihat sebagai suatu sitem, sebagaimana organisme yang memiliki sistemnya. Ia terkesan dengan ilmu alam, sehingga menggunakan metafor biologi untuk menjelaskan masyarakat. Namun, Spencer menganjurkan teori evolusi untuk menjelaskan perkembangan sosial, sehingga teorinya dianggap dapat menghidupkan ide tentang ras-ras superior secara genetis (Osborne R & Van Loon B, 1996). Sedangkan Ibnu Khaldun lebih condong pada hipotesa bahwa masyarakat akan mengalami pengulangan dalam siklus, hingga seperti menyiratkan tidak ada keunggulan sosial. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ Artinya: Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan. (Al-A‘rāf [7]:34). Usia suatu kerajaan menurut Ibnu Khaldun adalah tiga generasi, yang setiap generasinya berusia 40 tahun. Generasi pertama memiliki gaya hidup yang primitif dan liar, dengan kebiasaan yang keras dan menikmati kebesaran dalam kebersamaan. Generasi ini dikuatkan oleh ashobiyah atau rasa fanatisme golongan. Baca juga: Menelusuri Imam Thabari dalam Menggunakan Diksi Takwil Generasi kedua gaya hidupnya lebih berperadaban, dengan menikmati kebesaran secara individual dan menimbulkan kemalasan. Ashobiyah yang tertanam sebelumnya oleh generasi pertama pun menjadi berkurang. Generasi ketiga kemudian lahir, dengan melupakan masa-masa primitif generasi pertama. Mereka hanya menikmati kesenangan dan kemewahan, sampai menjadi beban pemerintah. Ashobiyah mereka menjadi hilang sama sekali. Karena itu, kerajaan biasanya mengalami kehancuran pada generasi keempat. Namun Ibnu Khaldun menambahkan, usia suatu kerajaan tersebut bisa jadi bertambah maupun berkurang, karena adanya faktor-faktor lain. Faktor tersebut antara lain adalah serangan dari bangsa lain. Ibnu Khaldun kemudian mengutip ayat ini, untuk menyiratkan bahwa suatu kerajaan memiliki masanya sendiri yang tidak bisa ditunda dan dipercepat. Wallahu a’lam bish showab Referensi: Ar-Razi, F. (1460 H). Mafatih al-Ghaib (At-Tafsir Al-Kabir). Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby. Ibn Khaldun, A. (2011). Mukaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Kuntowijoyo. (2017). Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: IRCiSoD. Osborne R & Van Loon B. (1996). Sociology for Beginners. Cambridge: Icon Books. |