Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kian berkembang beriringan dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Era globalisasi tampak begitu nyata dengan kemudahan akses digital di berbagai penjuru dunia. Negara berkembang yang acapkali dipandang terlambat dan terbelakang, pada kenyataannya cukup cepat merespon perkembangan TIK itu. Sebagaimana disampaikan Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ph.D ketika menjadi pembicara dalam acara Special Lecture Series “Globalization: Information Technology in Developing Countries” yang digelar oleh prodi Hubungan Internasional (HI) pada Rabu (30/06). Dalam pemaparannya, Fathul Wahid menyebutkan perspektif dalam memandang pembangunan yaitu pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi, sebagai kehidupan yang lestari, dan sebagai kemerdekaan. Fathul menyoroti poin ketiga yaitu pembangunan sebagai kemerdekaan, dalam hal ini TIK memfasilitasi peningkatan kapabilitas dan keberfungsian.
Tatkala sesuatu hal menjadi pilihan sadar yang itu bukan satu-satunya pilihan itulah saat pembangunan dilihat sebagai kemerdekaan. Negara berkembang memiliki dinamika tersendiri dalam merespon kemajuan TIK. Ia mencontohkan kehadiran aplikasi pemesanan makanan yang menawarkan aneka makanan dengan harga relatif murah. Tentunya contoh kecil ini tidak dialami di negara maju. Perspektif dalam memandang TIK sebagai sosio-materiality juga digarisbawahi oleh Fathul Wahid. Teknologi dan konteks juga saling mempengaruhi. Hal ini berarti teknologi menjadi tidak bebas nilai tapi justru berisi nilai. Dengan kata lain, teknologi tidak bisa dipisahkan dari dunia sosial. Ketika pembangunan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi maka ada tujuan etis yaitu menjadikan dunia lebih baik. Tetapi hal ini bisa menjadi kesenjangan dan jurang yang semakin dalam bagi yang punya akses diuntungkan yang tidak punya menjadi kehilangan banyak kesempatan. Fathul Wahid menguraikan studi lapangan yang pernah dilakukannya di Bantul yang membahas tentang kegunaan ponsel di sektor pertanian. Ia menggunakan capability approach (Sen, 1999), yaitu proses perpindahan dari komoditas ke kapabilitas kemudian keberfungsian dipengaruhi oleh faktor konversi seperti faktor personal, sosial, dan lingkungan. Temuan menarik yang ditemukan Fathul adalah diskusi tentang kepemilikan dan akses. Tidak semua petani memiliki ponsel sehingga seringkali mereka meminjam ponsel anaknya untuk menghubungi sesama penyuluh. Jika bicara globalisasi, kita diuntungkan karena akses lebih penting dari kepemilikan terutama untuk negara berkembang. Perkembangan teknologi informasi tentu berbeda di setiap wilayah, begitu pula dengan kesiapan setiap wilayah untuk berkembang. Ada daerah yang siap ditinggal ketika didampingi, ada juga yang kembali ke kemunduran lama. Ketika bertemu pendampingan untuk menjadi lebih mandiri, kata kuncinya adalah menjadi lestari. “Merdeka menjadi bermakna ketika tidak hanya sesaat, tetapi bisa berlangsung lama,” imbuhnya. Fathul Wahid juga optimis bahwa TIK bisa membawa negara berkembang menjadi negara maju dengan gerak kolektif sehingga manfaat bisa diperoleh secara optimal. (MRS/ESP) Skip to content
Meningkatnya peran media di dalam peta politik dunia turut memberikan ruang tersendiri bagi perkembangan di dalam bentuk diplomasi baru. Adanya peningkatan peran media ini juga didukung dengan adanya perkembangan yang dialami oleh dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dengan begitu, maka tentu saja jalur-jalur diplomasi semakin berkembang dan menumbuhkan pola-pola baru yang berbeda dari diplomasi tradisional. Duta Besar Ramli Saud dalam kesempatan kuliah tamu bertajuk “Peran Media dan Teknologi Komunikasi dalam Diplomasi Baru” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) pada Senin (19/09) lalu mengatakan bahwa perkembangan media menyebabkan terjadinya globalisasi, revolusi TIK, regionalisme, serta desentralisasi pemerintahan. Media yang ada sekarang membuat dunia menjadi tanpa batas. Informasi yang diberikan oleh media semakin tidak terbatas oleh batas-batas negara. Adanya fakta ini juga mendorong percepatan perubahan pada industri TIK. Para ilmuan TIK dituntut untuk dapat menciptakan perubahan secara terus menerus untuk memberikan fitur-fitur pendukung bagi ketersediaan akses informasi itu sendiri. Adanya percepatan kemajuan di bidang TIK membuat dunia semakin terbuka antara satu dan lainnya. Adanya perkembangan tersebut membuat akses informasi semakin mudah, cepat, dan terbuka. Dengan fakta yang demikian, maka muncul kemungkinan untuk desentralisasi pemerintahan. Informasi dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja secara real time sehingga tidak lagi memerlukan koordinasi langsung secara berjenjang dari pusat. Hal ini kemudian memberikan pada berubahnya dunia diplomasi. Negara (dalam hal ini pemerintah) tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam hubungan internasional. Aktor-aktor lain seperti organisasi non-pemerintah (NGO), individu, dan media kini dapat dengan mudah memengaruhi jalannya proses diplomasi itu sendiri baik menggunakan media sebagai sarananya atau pun secara langsung melalui pemanfaatan kemajuan TIK seperti langsung menghubungi pihak-pihak utama dalam diplomasi yang terkait dengan suatu permasalahan tertentu. Hal ini berakibat pada bergesernya peran diplomat sebagai satu-satunya sumber informasi dari suatu negara. Meski begitu, diplomat tetaplah menjadi utusan resmi bagi suatu negara. Metode diplomasi yang sebelumnya hanya terpaku pada meja perundingan saja kini turut berkembang seiring dengan perkembangan media dan TIK. Hal ini kemudian melahirkan konsep-konsep baru dalam diplomasi seperti diplomasi publik, personal diplomacy, network diplomacy, dan cyber diploamcy / digital diplomacy. Diplomat pada masa sekarang juga harus ‘melek teknologi’. Diplomat harus dapat beradaptasi dengan perkembangan dunia yang ada sekarang ini. Berbagai urusan yang dilakukan baik antar pemerintah, antar perusahaan, maupun antar individu sudah banyak yang tidak memerlukan perantara kedutaan. Dengan begitu, diplomat sebagai trusted interpreter dituntut untuk mengetahui segala hal tanpa lagi tergantung pada ketersediaan informasi dari pusat. Diplomat di era kemajuan media dan TIK ini juga tidak lagi dapat menutup-nutupi informasi atau dengan kata lain diplomat harus memiliki batasan ketika ‘menyembunyikan fakta’ pada publik maupun media. Perkembangan media dan TIK sudah semakin maju dan tak terbendung lagi. Sudah menjadi kewajiban bagi para diplomat maupun masyarakat Indonesia yang turut menjadi ‘agen diplomasi’ dapat lebih bijak dalam menyikapi fakta ini dan terus berusaha untuk beradaptasi.
Divisi Humas & ProtokolerKantor Pemasaran dan Admisi, Universitas Katolik Parahyangan
Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung |