Mengapa seorang wanita dilarang mengantar jenazah suaminya?

Persoalan:

Haruskah wanita yang kematian suami keluar ke kubur mengiringi jenazah dan melihat pengkebumian?

Haruskah wanita itu ke masjid untuk menunggu jenazah dimandikan, solat jenazah atau menerima lawatan rakan-rakan dan keluarga di sana?

Kematian suami sebagai teman perkongsian sudah tentu satu peristiwa besar bagi seorang isteri. Perasaan berat untuk melepaskan suami yang akan disemadikan untuk selamanya, naluri ingin melihat peristiwa bersejarah itu sangat kuat, namun wanita solehah pasti akan lebih mengutamakan keredhaan Allah Taala daripada kehendak jiwanya.

Seorang isteri yang kematian suami dilarang keluar rumah tanpa keperluan mendesak.
Berikut ialah petikan Perkara-perkara larangan bagi wanita dalam tempoh iddah kematian suami seperti yang terdapat dalam Fatwa al Kafi #977 terbitan Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan pada 23 Disember 2018 (c):

“Tidak dibenarkan keluar rumah termasuk untuk bermusafir, kecuali dalam had dan batas yang diperlukan sahaja. Antara keperluan penting yang membolehkan keluar rumah ialah untuk bekerja, mendapatkan rawatan perubatan, membeli barang-barang keperluan asasi (sekiranya tidak ada ahli keluarga atau orang lain yang amanah boleh melakukannya) dan keperluan-keperluan lain yang penting dan mendesak, dengan syarat mereka dapat menjaga peraturan dan adab-adab seperti yang disyariatkan Islam. Keharusan untuk keluar rumah ini juga hanya tertakluk pada waktu siang dan tidak pada waktu malam.  Namun, pengecualian diberikan kepada individu yang tidak mempunyai pilihan dan perlu bekerja pada waktu malam seperti doktor, jururawat dan sebagainya. Bagi larangan bermusafir, ia termasuk larangan untuk  menunaikan ibadat fardu haji dan umrah.”

Mengiringi jenazah pada hari pengkebumian bukanlah perkara kepentingan mendesak. Bahkan mungkin akan mengakibatkan keburukan yang lain seperti bercampur dengan lelaki ajnabi ketika itu, atau ditakuti wanita yang sedang mengalami kesedihan itu akan meratapi kepergian suaminya, sedang ini dilarang oleh Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam.

Demikian juga wanita tidak dibenarkan ke masjid untuk solat jenazah atau menerima lawatan rakan-rakan dan keluarga. Bahkan ia boleh solat di rumahnya dan menerima lawatan di rumah.

DALIL

Hadis Nabi sollallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (307) dan Muslim (938), daripada Ummu `Atiyyah radhiallahu anha, katanya:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلَا نَكْتَحِلَ وَلَا نَطَّيَّبَ وَلَا نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ

“Kami dilarang berkabung atas kematian seseorang melebihi tiga hari kecuali berkabung atas kematian suami selama empat bulan sepuluh hari. Kami dilarang bercelak mata, dilarang memakai wangi-wangian dan memakai pakaian berwarna-warni melainkan ‘asbun (sejenis pakaian wanita arab). Ketika mandi setelah suci daripada haid, kami dibenar menggunakan sedikit minyak wangi. Kami juga dilarang mengiringi jenazah.”

Wanita solehah yang menyintai suaminya memahami bahawa dalam tempoh iddahnya dia wajib menjaga batas hukum halal haram kerana ia tahu sebarang perlanggaran hukum yang dilakukannya akan mengakibatkan suaminya disiksa di dalam kubur. Na’uzubillah.

Walaubagaimanapun ada juga yang berpendapat makruh.

Daripada Umm Atiyyah R.Anha bahawa dia berkata:

نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

Maksudnya: Kami (kaum wanita) dilarang daripada mengikut jenazah-jenazah (ke kuburan) dan Baginda (SAW) tidak melarang dengan keras (hal demikian) ke atas kami.

Hadis riwayat al-Bukhari (1278)

Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ (5/277-278)  larangan ini bersifat makruh tanzih (perkara yang dibenci dan menyalahi adab tetapi tidak mendatangkan dosa, contoh makan bawang mentah dan minum berdiri. Ulama fiqih menyebut, perbuatan makruh tanzih ini sebagai perbuatan khilaful aula yang bermaksud perbuatan menyalahi yang utama atau afdhal).

Inilah mazhab Syafie dan jumhur, manakala dalam Mazhab Malik tidak menganggap makruh kecuali bagi bagi wanita muda. Diceritakan daripada al-Abdari bahawa Imam Malik menganggapnya makruh kecuali jika jenazah itu ialah anaknya, ibu ayahnya, dan suaminya.

Rujukan:

https://muftiwp.gov.my/artikel/al-kafi-li-al-fatawi/1792-hukum-isteri-mengiringi-jenazah-suami-pada-waktu-iddah

Wallahu ‘a’lam.

(Ustzh. Shahidah bt Sheikh Ahmad)

Seringkali kita melihat para wanita pun ikut serta mengiringi jenazah hingga kuburan. Padahal sifat wanita biasanya tidak tabah. Sehingga mayoritas ulama memakruhkan wanita mengiringi jenazah hingga pemakaman.

Mayoritas ulama berpandangan bahwa wanita dimakruhkan keluar mengiringi jenazah. Demikian dinukil oleh Imam Nawawi dari pendapat mayoritas ulama dan mayoritas sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, dan ‘Aisyah. Lihat Al Majmu’, 5: 278.

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa keluarnya wanita untuk maksud tersebut dihukumi makruh tahrim (artinya: haram).

Mengenai dalil tentang masalah ini,

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ نُهِينَا عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ ، وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

Dari Ummu ‘Athiyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Kami (para wanita) dilarang mengiringi jenazah. Namun larangannya tidak terlalu keras bagi kami.” (HR. Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 938).

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa maksud hadits di atas, “Tidak ditegaskan jika hal tersebut terlarang keras sebagaimana dalam larangan-larangan lainnya. Seakan-akan Ummu ‘Athiyah berkata: kami dilarang mengiringi jenazah dan bukan larangan haram (tetapi makruh).”

Al Qurthubi menjelaskan, “Secara tekstual, hadits Ummu ‘Athiyah menunjukkan bahwa larangan yang dimaksud adalah larangan makruh tanzih. Demikian pendapat mayoritas ulama. Imam Malik berpendapat bolehnya. Demikian pula pendapat ulama Madinah.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadits adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita untuk mengiringi jenazah dan larangannya adalah makruh tanzih, bukan makruh yang menunjukkan keharaman. Madzhab kami -Syafi’iyah- berpendapat hal itu makruh dan bukanlah haram berdasarkan pemahaman dari hadits ini. Al Qodhi ‘Iyadh berkata bahwa mayoritas ulama melarang para wanita mengiringi jenazah. Sedangkan ulama Madinah membolehkannya. Begitu pula dengan Imam Malik, namun beliau memakruhkan untuk para gadis.” (Syarh Muslim, 1: 46)

Semoga semakin menambah ilmu kita dan moga semakin berbuah amal. Wallahu waliyyut taufiq.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul, 11 Syawal 1433 H

www.rumaysho.com

Baca Juga:

  • Kumpulan Amalan Ringan #08: Menghadiri Prosesi Jenazah
  • Cara Memandikan Jenazah (Sekadar Memenuhi Wajib)

Mengapa wanita dilarang mengantar jenazah suaminya?

Menurut Habib Ali Zaenal, wanita tidak boleh mengantarkan jenazah suaminya ke kubur karena masa iddah-nya telah dimulai. Sebenarnya, mengiringi jenazah dengan doa itu lebih penting daripada harus hadir secara fisik di kuburan.

Apa hukum istri mengantar jenazah suami?

Artinya: “Adapun perempuan, maka dimakruhkan bagi mereka untuk ikut mengantar jenazah (ke kuburan), dan tidak haram. Pendapat ini yang benar, sebagaimana telah ditegaskan oleh ulama Syafiiyah.”

Apakah perempuan boleh ikut memakamkan?

Hadits ini mengandung makna, bahwa perempuan itu dibolehkan Nabi SAW untuk turut mengantar jenazah ke kubur. Kalau sekiranya haram, niscaya tidak ada perempuan di dekat jenazah itu dan niscaya Nabi SAW tidak akan melarang Umar RA yang berteriak memperingatkan perempuan tersebut.

Apa hukumnya seorang wanita ikut ziarah kubur ataupun mengantar jenazah sampai ke kuburan?

Pendapat yang mengatakan bahwa ziarah kubur adalah haram dan makruh bagi perempuan mengacu kepada hadits yang sama. Yaitu hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi. Hadits dari Abu Hurairah RA tersebut menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melaknat para wanita yang melakukan ziarah kubur.