Pengadilan yang bertugas mengadili perkara agama pada masa Daulah Abbasiyah disebut

Masa pemerintahan Abbasiyah dibagi menjadi beberapa periode.

sott.net

Kota Baghdad, pusat Daulah Abbasiyah.

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu dinasti Islam terlama adalah Abbasiyah. Setelah keruntuhan Dinasti Umayyah, muncul Dinasti Abbasiyah yang bertahan lebih dari lima abad (750-1258) dan pernah mewujudkan zaman keemasan umat Islam. Para sejarawan membagi masa kekuasaan Abbasiyah menjadi beberapa periode berdasarkan ciri, pola perubahan pemerintahan, dan struktur sosial politik ataupun tahap perkembangan peradaban yang dicapai.

Secara umum, para sejarawan ini berpandangan bahwa kekuasaan Dinasti Abbasiyah dapat dibagi atas empat periode. Keempat periode tersebut adalah Periode Awal (750-847), Periode Lanjutan (847-945), Periode Buwaihi (945-1055), dan Periode Seljuk (1055-1258).

Kekuasaan Dinasti Umayyah yang lebih Arabsentris digantikan oleh Dinasti Abbasiyah. Berbeda dari pendahulunya, Dinasti Abbasiyah mendistribusikan kekuasaan secara lebih luas, tidak terbatas di kalangan orang Arab saja, tetapi juga mengikutsertakan Muslim non-Arab lainnya, terutama orang Persia dan Turki.

Kehidupan Islami

Para sejarawan mengungkapkan beberapa alasan mengapa banyak masyarakat yang melakukan oposisi terhadap kekuasaan Umayyah dan berupaya menggantikannya dengan kekuasaan yang baru. Bagi kalangan ulama, terutama sejak perang saudara silih berganti melanda umat Islam--karena Khalifah Usman bin Affan dibunuh--umat Islam mendambakan kehidupan yang lebih Islami.

Gerakan ulama ini berupaya menghindari persaingan politik sekaligus berseru kepada para penguasa agar menegakkan tatanan kehidupan yang sesuai dengan tuntutan Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Pengaruh mereka sangat besar di kalangan umat Islam. Tak mengherankan jika gerakan anti-Umayyah yang dikobarkan oleh kelompok pendukung Abbasiyah memperoleh dukungan secara keagamaan dari para ulama.

  • dinasti
  • dinasti abbasiyah
  • abbasiyah

sumber : Islam Digest Republika

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.

Pengadilan Agama Sumber yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Fungsi

Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan AgamaSumber mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:

  • Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
  • Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan.(vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
  • Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dansewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
  • Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006).
  • Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengkapan) (vide: KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).

Fungsi Lainnya:

  • Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
  • Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan Transparansi Informasi Peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.


Tidak adanya negara Islam di masa kini seringkali dituding sebagai penyebab tidak berjalannya hukum Islam di tengah umat Islam hari ini. Sehingga dengan logika sederhana, seruan untuk mendirikan negara Islam dikobarkan dimana-mana. Masalahnya, kita ini sekarang hidup dengan berkomitmen dengan negara kita masing-masing, meski negara kita tidak dalam format dan pengertian sebagai negara Islam seperti yang dibanyak digambarkan. Namun alasan untuk menegakkan hukum Islam akhirnya dijadikan legitimasi untuk merebut kekuasaan dari para penguasa berbagai negeri Islam. Maka yang terjadi dimana-mana justru aksi kudeta dan silih bergantinya perebutan kekuasan dari satu rezim ke rezim yang lain. Biasanya masing-masing rezim itu membawa-bawa alasan yaitu untuk menegakkan hukum Islam. Dan hukum Islam tidak bisa ditegakkan, kecuali hanya dengan merebut kekuasaan dari penguasa yang sudah ada. Walaupun tetap saja tidak ada jaminan bahwa hukum syariah ditegakkan. Padahal kekuasan sudah berhasil direbut, rezim yang lama sudah ditumbangkan dan roda kekuasaan pun bergulir.9 Mengapa demikian? Jawabannya karena untuk tegaknya hukum syariah, sebenarnya tidak perlu sebuah pemerintahan atau negara tersendiri, juga sama sekali tidak dibutuhkan perebutan kekuasaan atau aksi-aksi penggulingan penguasa lama kepada penguasa yang baru. Yang dibutuhkan ternyata sederhana dan amat mudah dijangkau, yaitu ditegakkannya majelis qadha’ atau pengadilan syariah yang dinyatakan dengan diangkatnya seorang qadhi. Siapakah qadhi itu? Qadhi adalah hakim yang tugasnya memutuskan perkara di antara dua pihak yang bersengketa. Dalam logika hukum Islam, keberadaan qadhi merupakan keharusan yang tidak bisa dibiarkan kosong begitu saja, karena tanpa adanya qadhi, hukum akan hilang lenyap, sehingga akan menimbulkan mafsadat yang teramat besar. Sehingga bisa dikatakan eksistensi tegaknya hukum syariah itu tergantung pada eksistensi qadhi. Dikatakan hukum itu berjalan, manakala dijamin qadhi lancar menjalankan tugasnya. Sebaliknya, dikatakan hukum itu runtuh ketika qadhi tidak menjalankan tugasnya. Maka antara qadhi dan berjalannya hukum itu menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Walaupun di tengah umat Islam sudah ada AlQuran dan Hadits sebagai pedoman, namun keberadaan qadhi menjadi syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan umat Islam.10 Hukum keberadaan qadhi ini menjadi fardhu kifayah bagi umat Islam di suatu tempat, sedangkan bagi Sultan, hukumnya menjadi fardhu ‘ain untuk menunjuk atau mengangkat qadhi pada suatu

wilayah.

2020/pasmgd/0049297.431 Ahm kRuang Baca Umum (1)Tersedia

Judul Seri

-

No. Panggil

297.431 Ahm k

Penerbit Rumah Fiqih Publishing : Jakarta., 2021
Deskripsi Fisik

43 hlm; pdf

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

NONE

Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

1

Subyek

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab

-

Tidak tersedia versi lain




DETAIL CANTUMANKembali ke sebelumnyaXML DetailCite this